Pertama, Membangun Pemahaman Tentang Hijrah
Hijrah bukan sekedar berpindah tempat atau merubah penampilan. Hal itu hanyalah salah satu makna hijrah. Yang tidak kalah paling penting adalah memahami hakikat hijrah. Sehingga hijrah yang dilakukan bukan sekedar ikut-ikutan. Tapi menjadi manhaj yang terpatri dalam kesadaran. Abdullah bin Mas’ud berkata:
لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً ، تَقُولُونَ : إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا ، وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا ، وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ ، إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا
“Janganlah kalian menjadi generasi yang ikut-ikutan. Yaitu generasi yang berkata, “Jika manusia baik, kami juga akan ikut baik. Jika manusia berbuat dzalim, kami pun demikian. Akan tetapi jadilah pribadi yang matang. Jika manusia baik, mereka menjadi baik. Jika manusia rusak, mereka tidak ikut-ikutan.”
Baca juga: Generasi Rabbani, Kebutuhan Ummat Zaman Now
Hakikat hijrah adalah meninggalkan perkara yang disenangi oleh hawa nafsu, menuju perkara yang diridhoi Allah SWT. Maka akan sangat wajar di sepanjang jalan hijrah akan ada tantangan dan godaan. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya setan selalu duduk menggoda di semua jalan kebaikan anak Adam. Ia duduk di jalan Islam sambil berkata: “Mengapa kamu masuk Islam dan meninggalkan agamamu, agama bapak dan nenek moyangmu?”. Lalu hamba itu tidak menghiraukannya dan ia tetap masuk Islam.”
“Kemudian setan duduk di jalan hijrah sambil berkata: “Mengapa kamu hijrah dan meninggalkan tempat tinggal dan hartamu?”. Hamba itu tidak memedulikannya, dan ia pun tetap hijrah. Kemudian setan duduk di jalan jihad, yaitu jihad jiwa-raga serta harta. Setan lalu berkata: “Kalau kamu berjihad, kamu akan saling membunuh dan kamu akan terbunuh, istrimu akan dinikahi orang lain dan hartamu akan dibagi-bagi”
“Hamba tadi tidak memedulikannya, ia pun tetap berjihad. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang melakukan hal demikian, lalu mati, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga” (HR. Ahmad)
Kedua, Memulai Dengan Taubat
Jangan sampai generasi zaman now berpikir bahwa hijrah merupakan perkara yang susah. Sehingga berpikir harus mempersiapkan bekal ini dan itu. Sebab pada dasarnya seorang muslim adalah muhajir. Buktinya selesai shalat kita beristigfar kepada Allah, melakukan kesalahan kita beristigfar, mengingat mati kita juga beristigfar.
Istigfar artinya memohon ampun kepada Allah. Dan itu merupakan bentuk pertaubatan seorang muslim. Sedangkan taubat adalah hakikat hijrahnya seorang muslim. Yaitu hijrah meninggalkan dosa menuju ampunan Allah. Rasululah bersabda:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari)
Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah memantapkan makna istigfar. Istigfar harus dibarengi dengan penghayatan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Sehingga istigfar bukan perkara berapa kali ia diucapkan. Melainkan seberapa jauh nilai istigfar meningkatkan rasa takut kepada Allah.
Ketiga, Menyertai Alim Ulama
Hijrah tidak cukup dengan istigfar lalu memperbaiki amal ibadah tanpa disertai usaha merapat kepada alim ulama. Hijrah yang tidak didampingi ilmu ulama sangat rawan terkena perangkap setan. Karena bisa jadi orang seperti itu bertaubat dari suatu dosa, setelah itu malah masuk kepada dosa yang lebih besar. Ibarat kata lepas dari mulut harimau, namun masuk ke dalam mulut buaya.
Baca juga: Khawarij, Pembunuh Karakter Ulama
Ketika sahabat sabiqunal awwalun meninggalkan agama jahiliah, mereka selalu menyertai Rasulullah. Rasululah membimbing mereka sejak di Darul Arqam hingga beliau wafat di Madinah. Sehingga lahirlah mereka menjadi generasi yang Allah sifati:
“Muhammad itu adalah utusan Allâh Ta’ala dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (QS. Al-Fath: 29)
Di zaman ini, tidak ada yang lebih wajib untuk kita dekati melebihi para ulama. Karena ulama adalah pewaris para nabi. Tentunya ulama yang dimaksud adalah ulama Rabbani. Yang berani berkata jujur di setiap keadaan. Bukan ulama penjilat yang menjual agama untuk kepingan dunia.
Keempat, Membentuk Komunitas Hijrah
Selanjutnya adalah membentuk komunitas hijrah. Setelah generasi zaman now memutuskan untuk hijrah, langkah selanjutnya adalah mencari atau bergabung dengan komunitas muslim lainnya. Seperti komunitas pengajian atau komunitas taklim dan sebagainya. Bisa juga membentuk komunitas berdasarkan hobi. Seperti komunitas panah syar’i, komunitas sepeda syari, dan komunitas-komunitas lainnya.
Langkah seperti ini adalah bagian dari menguatkan semangat hijrah kita. Sebab dengan menyertai orang-orang shaleh, insya Allah iman kita akan terjaga. Minimal kita tidak merasa sendiri di jalan hijrah.
Di kampung dan halamannya, orang yang berhijrah adalah orang yang terasingkan. Mereka berani melawan arus di saat sebagian manusia terlena dengan dunia. Maka salah satu cara menghilangkan keterasingan tersebut adalah mengumpulkan mereka dalam satu komunitas. Sehingga jalan hijrah menjadi ramai. Jadilah hijrah menjadi lebih menyenangkan.
Baca juga: Kewajiban Hijrah Takkan Hilang Ditelan Zaman
Rasulullah Saw tidak mengizinkan para sahabat untuk hijrah sebelum beliau menyatukan hati mereka. itu dilakukan agar ketika perintah hijrah turun, mereka sudah memiliki komunitas yang siap berjalan bersama, senasib dan seperjuangan.
Kelima, Niatkan Menolong Agama Allah
Niatkan bahwa hijrah yang kita lakukan adalah dalam rangka menolong agama Allah. Sehingga hijrah yang dilakukan bukan untuk keshalehan pribadi, tapi juga untuk keshalehan sosial. Dengan demikian dalam waktu bersamaan dia menjadi seorang muhajir dan seorang ansor sekalian.
Baca juga: Syariat Ilahi Harga Mati
Ketika para sahabat masuk Islam, mereka dengan serta merta menjadi penolong agama Allah. mereka langsung mendakwahkan Islam kepada sahabat dan keluarganya. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Wallahu Ta’ala ‘Alam
Sumber : Majalah An-Najah edisi 147, hal. 12,13
Penulis : Sahlan Ahmad
Editor : Ibnu Alatas
Sumber : https://www.an-najah.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar