Terlahir sebagai seorang muslimah tak lantas membuatku taat secara utuh dalam beragama. Meskipun aku tinggal bersama keluarga yang menganut agama Islam, namun kultur Kejawen masih sedikit melekat. Oleh sebab itu, sedari balita hingga sarjana aku belum menjalankan salah satu kewajibanku sebagai seorang muslimah; mengenakan . Didukung dengan mayoritas kaum wanita di keluargaku yang belum mengenakan hijab sehingga aku merasa wajar untuk tidak mengenakan hijab.
Bukan hanya dari segi penampilan saja, dari sikap dan perilaku pun aku masih jauh dari figur muslimah berakhlak mulia. Tercermin dari pergaulanku semasa remaja; kontak fisik dengan teman laki-laki yang jelas-jelas bukan mahramku. Saat jam istirahat dan waktunya bermain aku dan teman laki-lakiku sering saling menepuk pundak, melakukan high five atau juga bercanda dengan mencubit atau memukul ringan. Untuk teman laki-laki terlihat jelas ya kalau bukan mahram, namun kadang interaksi dengan anggota keluarga masih ambigu mana yang termasuk mahram dan mana yang bukan. Sebagai contoh, saudara seperti paman dan sepupu atau keponakan laki-laki bukanlah mahram dan sebelum berhijrah aku sering bersalaman dan cipika-cipiki (tradisi dari keluarga ibuku selain bersalaman dengan sanak saudara) dengan mereka. Ditambah, aku pernah berpacaran dan sering jalan berdua alias berkhalwat. Wah, makin jauhlah jalanku untuk menjadi seorang muslimah.
Namun demikian, nyatanya Allah Azza wa Jalla masih sayang kepadaku. Aku tidak dibiarkan tersesat terlalu jauh. Tepat setelah lulus kuliah, saat hari lahirku berulang untuk yang ke-22 kali, aku memantapkan hatiku untuk berhijab. Awalnya langkahku ini ditentang oleh keluargaku karena pada saat itu sedang ramai tentang teroris-teroris yang mengaku berjihad. Keluargaku khawatir aku akan terjerumus atau dianggap ikut dalam aliran sesat. Memang pada saat kita memutuskan untuk berhijab kita pasti menjadi ‘haus’ akan ilmu-ilmu Islam yang jarang kita cari tahu semasa jahiliyah dulu. Tetapi aku meyakinkan keluargaku bahwa aku dapat menjaga diri sendiri dan mendalami Islam dengan sebenar-benarnya Islam sesuai Al-Quran dan Al-Hadits. Ucapanku tersebut kubuktikan pula dengan memperbaiki sedikit demi sedikit perilaku dan akhlakku; yang pada saat itu aku masih berpacaran meski sudah berhijab, akhirnya aku memutuskan untuk menjadi singlelillah (single karena Allah). Yang tadinya easy going jalan sama teman laki-laki meski wanita sendiri, sekarang mulai menjaga jarak agar tidak pergi sendiri tanpa teman wanita lain. Proses hijrahku terlihat mudah? Tentu tidak. Beberapa kali keluargaku mendesak untuk memikirkan ulang keputusanku berhijab. Begitu pula dengan pasanganku pada saat itu yang sering protes dengan sikapku yang mulai acuh karena menolak untuk ngedate lagi. Namun lagi-lagi Allah menunjukkan kasih sayangnya kepadaku dengan cara menguatkanku untuk menghadapi hal-hal tersebut.
Pada akhirnya, keluargaku mendukung keputusanku dan yang lebih mengejutkan buatku adalah ibuku yang mulai menutup auratnya. Alhamdulillah, proses hijrahku membuka pintu hidayah untuk orang tuaku. Hingga kini, keluargaku sedikit demi sedikit mempelajari Islam lagi dari semula agar memahami dan mengamalkan Islam secara paripurna. Memang belum seutuhnya sempurna, tetapi kami belajar terus-menerus untuk memperbaiki diri.
Untuk teman-teman yang sedang menjalani proses hijrah dan mengalami berbagai tantangan, semoga Allah memampukan kalian untuk istiqamah di jalanNya. Dan untuk teman-teman yang takut atau tidak tahu bagaimana memulai berhijrah, semoga Allah segera memberikan hidayahNya agar kalian mantap dalam berhijrah. Niatkan hijrah kalian karena Allah, karena Allah telah berfirman dalam KalamNya:
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat)" - QS Al-A’raaf: 178
Barakallah!
Sumber : https://kumparan.com
Sumber : https://kumparan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar